The Last Moment
"Mati... Adalah saat terindah
dalam kehidupan"
Kata-kata yang selalu ia ucapkan
padaku. Menggumamkan dengan senyum menjijikkan. Sampai terakhir, aku meragukannya. Tak bisa mengerti arti dibalik perkataan itu. Bahkan saat maut
mengunjunginya dan aku melihat dengan kedua mataku sendiri bagaimana ia mati,
aku masih tak bisa melihat keindahan. Seperti yang ia katakan, mungkin mata dan hatiku
memang sudah terlumuri bergerombol debu yang sulit dibersihkan. Mungkin, jiwaku
sudah teredam dalam berbagai noda mengeras. Hingga aku tak bisa melihat
keindahan yang ia maksud. Hingga, keindahan itu tak bisa terpantulkan pada
penglihatanku. Atau bahkan, mungkin malah dialah yang terlalu bodoh. Bagaimana
bisa aku melihat setitik pun keindahan ketika ia mati dengan sangat
menyedihkan. Terbujur kaku dalam kedinginan malam berhujan, dalam kekosongan
ruangan tak berpenghuni. Saat seorang polisi menghubungiku, dengan perasaan
sedingin es, aku pergi ke rumahnya. Mendapati kemalangan janggal dalam seluruh
tubuh pucat itu. Kau tahu apa yang polisi katakan setelah aku sampai? Ia sudah
meninggal selama hampir satu minggu. Ya, polisi itu berkata begitu. Menyedihkan
bukan? Benar-benar menyedihkan. Sungguh ironis, ia yang menyedihkan, akhirnya
mati dengan sangat mengenaskan. Dan Ia bilang itulah keindahan? Membuatku
terkekeh saja.
Sejujurnya, aku ingin mencibir
orang itu. Berteriak padanya dengan lantang bahwa selama ini akulah yang benar.
Bahwa selama ini, ia terlalu bodoh dan sangat menyedihkan. Sungguh
mengherankan, bagaimana bisa aku mengenal orang sebodoh dirinya. Aku tidak
merasa sedih. Atas kematiannya, aku malah merasa menang. Namun kata-kata
dramatisnya selalu menghantuiku. Membayangiku hingga ke pelosok jiwa. Suatu
saat nanti, mungkin malah kata-kata itulah yang akan membuatku mati.
Sepanjang yang kuingat, aku sudah
mengenal orang itu. Ia dengan kenaifannya dan aku dengan kesuramanku. Bukan
perpaduan yang sempurna, namun ia selalu mengikutiku. Menghampiri kapan pun
ketika aku memanggil. Mencintaiku dengan kebodohannya. Ia terlalu bodoh.
Dimataku, ia orang paling pengecut yang pernah kukenal. Aku sangat membenci
semua hal tentang dirinya. Entah itu senyum cemerlangnya ataupun kata-kata yang
selalu ia lontarkan. Tak ada satu pun yang sejalan dengan pemahaman.
Hidup
yang ia jalani sama menyedihkan dengan hidupku. Terlahir dalam keluarga yang
membuangnya. Selalu mendapat ke tidak adilan dan perasaan rindu tak berkesudahan.
Baginya, orang tua yang telah membuangnya adalah seseorang yang paling ingin ia
jumpai. Memaafkan mereka, merupakan sesuatu yang tak bisa kumengerti. Setelah
perlakuan mereka terhadap dirinya, bagaimana bisa ia memaafkan dengan sangat
mudah?
" Mereka memiliki alasan.
Seperti halnya dirimu yang berlaku begitu karena memiliki alasan, mereka pun
demikian." Adalah perkataan yang ia ucapkan ketika aku mempertanyakan
ketidak adilan itu. Seperti saat-saat yang lain, aku tak bisa membalas
perkataannya. Merasa bahwa ia benar namun tak mau mengakui. Dan akhirnya, yang
bisa kulakukan hanyalah membenci. Aku benci saat ia tidak sejalan denganku.
Di saat lainnya, ia pernah berkata
bahwa dirinya beruntung. Ketika aku bertanya apa maksud ucapan itu, ia hanya
membalasku dengan senyuman tenteram yang kubenci. Melanjutkan dengan perkataan
bahwa dirinya sangat bersyukur telah bertemu denganku. Lalu kujawab, "Kaulah
musibah untukku". Ia hanya terkekeh. Menatapku dengan sorot mata yang juga
sangat kubenci. Benci, sebab saat aku melihat sorot itu aku selalu terpesona.
Seolah-olah sesuatu di sana menyedotku dalam dekapan hangat. Lalu, aku
terjebak. Merasa tidak perlu melepaskan diri karena terlalu nyaman. Saat-saat
aku terbuai dalam tatapannya adalah sesuatu yang mengusikku. Aku tahu dengan
pasti, aku...tidak boleh jatuh padanya.
"
Aku menemukan ibuku." Dengan sekejap, perkataannya itu membuatku terbebas
dari belenggu. Membuat amarah tiba-tiba meluncur dengan cepat ke dalam nadi.
Dengan sorot mata tajam, aku
membalas, "Apa pun yang kau pikirkan, lupakan. Kau harus ingat apa yang
telah ia perbuat padamu."
" Aku sangat
merindukannya."
Senyuman tenteram itu terukir di bibirnya. Padahal,
sudah berjuta kali aku memperingatkan agar ia jangan pernah tersenyum seperti
itu padaku. Dan ia, memang selalu mengabaikanku.
"Jika
kau berniat menjumpai dia, aku bersumpah tidak akan pernah mau bertemu denganmu
lagi." Gumamku penuh amarah.
"Sekali. Setidaknya, aku harus
bertemu dengan ibuku bukan?" Tanyanya dengan senyuman yang tetap ia tampakkan.
Amarah masih menguar dalam tubuhku.
Bahkan, angin sepoi-sepoi yang berembus dengan kencang tak bisa kurasakan.
Tanpa mengucapkan apa pun, aku beranjak. Berjalan meninggalkannya begitu saja.
Tak peduli apa yang kukatakan, ia tidak akan mendengarkanku. Dan itu...alasan
kenapa aku tak pernah mau membuka hatiku untuknya. Karena meskipun ia sangat
memahamiku, pikiran kami selalu tak sejalan. Karena suatu saat nanti, aku yakin
ia akan meninggalkanku. Aku benar bukan? Ia memang meninggalkanku. Tanpa sepatah
kata. Bahkan dalam keadaan aku marah padanya. Karena setelah kejadian itu, aku
benar-benar tidak pernah berjumpa dengannya lagi.
Di
hari pemakaman, aku enggan datang. Lagi pula, sudah sangat lama aku memang
telah melepaskannya. Tepat di saat ia memaafkan ke dua orang tuanya, aku
bertekad tidak akan pernah membuka hatiku. Yang kutahu, harusnya ia berlaku
sepertiku. Membenci mereka hingga rasanya ingin mencabik-cabik tubuh mereka tak bersisa. Lalu apa yang ia katakan? 'Aku telah memaafkan mereka' tidak masuk
akal. Harusnya, ia mengingat setiap detik perbuatan yang telah mereka lakukan.
Bagaimana ia mendapat siksaan mengerikan dari sang ayah ketika ibunya melarikan
diri dengan laki-laki lain. Bagaimana ia harus menahan luka dan perasaan
diabaikan. Bagaimana ia selalu dituduh sebagai anak pembawa sial. Tak bisa
dipercaya, ia melupakan itu semua dengan mudah. Di sepanjang hidup setelah ia
lepas dari ayahnya, ia selalu mencari-cari sang ibu. Seolah, hidupnya berada di
tangan sang ibu. Seolah, ia memang hidup untuk menemukan ibunya. Saat aku
bertanya dengan ketus apa yang akan ia lakukan ketika berjumpa,
ia menjawab "Aku hanya ingin meminta maaf."
"Untuk
apa? Dia bukan, yang seharusnya memohon ampun padamu?"
"Karena aku tak bisa melindunginya
dan membalas jasanya. Ia telah melahirkanku. Itu artinya, ia juga yang
membuatku bisa bertemu denganmu."
Tepat
di saat ia berkata begitu, aku memutuskan hubunganku dengannya. Dan seminggu
kemudian, memberitahunya lewat pesan bahwa aku akan bertunangan dengan lelaki
lain. Kau tahu ia menjawab apa?
"Aku senang dan akan selalu
mendoakanmu agar berbahagia." Saat aku sadar, aku memandangi pesan text
itu selama hampir satu jam. Dengan air mata yang telah berubah menjadi genangan.
Di hari ia dimakamkan, aku berada
di rumahnya. Mengurung diriku dalam ruangan itu. Tempat dimana ia mati.
Terabaikan selama seminggu. Kuyakin ia sangat kesepian. Ia pantas mendapatkannus.
Kesepian...mungkinkah itu arti keindahan yang ia maksud? Semenjak aku meninggalkannya
di Caffe itu, aku berusaha tidak memedulikannya. Mengabaikan segala panggilan
dan sms yang ia kirim. Tidak tahu menahu bahwa ia memiliki penyakit jantung.
Ya, polisi bilang, ia mati karena serangan jantung. Obat-obatan yang tergeletak
dikamar menandakan bahwa sudah lama ia mengidap penyakit itu. Mengerikannya,
aku sama sekali tidak tahu. Itukah alasan kenapa ia sama sekali tak berkutik
ketika aku memutuskan untuk menikah? Itukah alasannya kenapa ia terlihat sangat
lega di hari pernikahanku? Tak pernah membenciku. Padahal, aku hanya ingin ia berperilaku
serupa denganku. Membenci setengah mati kedua orang tuanya bukan malah
memaafkan mereka. Sampai akhir, aku tidak pernah bisa mengerti dirinya.
Padahal, ialah satu-satunya orang yang selalu memahamiku.
Di saat pemakamannya, aku menemukan
di bawah tempat tidur sebuah catatan kecil dengan ketebalan sebuah kamus. Foto di
halaman pertama yang membuatku memutuskan untuk membaca. Sebuah foto yang menampakkan
dua orang dewasa dan satu bocah lelaki di tengah. Keceriaan janggal terlihat
sangat jelas dalam raut wajah mereka. Keceriaan, yang tak pernah kurasakan.
Sang bocah dapat kukenali dengan mudah. Meskipun aku tak mengenal kedua orang
dewasa itu, namun aku bisa menebak. Dan sebuah kisah mengalir dalam sang
catatan.
Karena sedari lahir aku telah
dibuang, aku tidak pernah bisa memahaminya. Tentang rasa cinta ataupun kasih
sayang itu. Hanya mengenal suatu ambisi. Ambisi besar agar menjadi seseorang
yang dapat membuat orang tuaku menyesal telah menelantarkanku. Tidak seperti
dirinya.
Ketika sang catatan telah selesai
kubaca, langit sudah gelap dan hujan berubah menjadi gerimis. Angin kencang berembus
masuk melewati jendela terbuka. Menerpaku dengan tamparan keras. Sebelumnya,
aku berjanji pada diriku untuk tidak menangis. Namun, sang angin menyakiti
kulitku. Jadi air mata jatuh dari kelopak mata. Sekali lagi kutegaskan, sang
anginlah yang membuatku menangis. "Buat mereka berhenti menyakitiku!"
Saat kusadar, dia tak lagi disisiku untuk melakukan semua permintaanku. Saat
kusadar, tak ada lagi senyum cemerlang menjijikkan atau tatapan hangat yang
kubenci setengah mati itu. Tak ada lagi seseorang yang bisa kubentak-bentak.
Saat kusadar, aku tak bisa menghentikan air mata yang terus mengalir ataupun
kesedihan yang mencabik-cabik jiwaku.
Di
hari berhujan saat akhirnya ia dimakamkan, dalam lembar terakhir sebuah catatan
kecil setebal kamus itu, sebuah kata-kata terukir dengan indah
"Memaafkan, adalah saat-saat terindah dalam
kehidupan"
Di
malam saat semua orang melepas kepergiannya, aku malah mengingat kematiannya.
Wajah putih penuh ketenteraman itu. Mangkinkah itu artinya?
"Mati...adalah saat terindah dalam
kehidupan"
Perlukah kau coba?
***
Tasikmalaya,
26 Maret 2017
Komentar
Posting Komentar