Balik lagi ke kodrat hahaha. setelah sekian lama ngalor ngidul gak puguh ngepost postingan kurang jelas, kini aku balik lagi ke gendreku yang sesungguhnya. Cerpen. Hobby yang sempat kutelantarkan. Gak heran kalo akhir-akhir ini bahkan aku sangat sulit terilhami suatu inspirasi. Sedihnya... jika bukan membuat cerpen, emang aku bisa ngapain lagi??
Cahaya Remie
Sesosok tubuh kian mendekatinya.
Bayangan itu semakin mengarah pada tempat persembunyian Jeane. Yang Jeane tahu,
ia tak seharusnya berada di sini atau tertangkap oleh sang sosok. Sesungguhnya,
Jeane tidak mengerti kenapa ia berada di tempat mengerikan ini. Saat terbangun, ia
berada di sebuah ruangan tertutup dengan berbagai alat-alat yang sebagian
tertancap pada kedua lengan dan kakinya.
Perlu usaha yang besar baginya untuk melepaskan alat-alat itu. Bahkan rasa
sakitnya sampai saat ini masih berbekas. Dan saat ia keluar dari ruangan,
sebuah ruangan lain yang lebih mengerikan menantinya. Tepat ketika ia membuka
pintu, ia mendapati ruangan berantakan yang hampir di isi berbagai tabung besar
berjejer dengan tak teratur. Hampir saja
ia terjatuh jika ia tidak menahan tubuhnya pada gagang pintu. Rasanya, ia ingin
menangis dan meratapi hidupnya. Kenapa? Kenapa ia harus berada di sini? Sebelum
ia sepenuhnya sadar dan yakin akan isi dari semua tabung itu, ia mendengar
suara langkah kaki. Dan kini, di sinilah dia. Bersembunyi di balik sebuah meja
dengan ketakutan yang membuatnya tak bisa berhenti bergidik. Berharap sosok apa
pun di sana tidak menemukannya.
Dengan keringat dingin yang tak
juga berhenti mengucur, Jeane mengarahkan pandangan ke sekeliling tempat
berantakan itu. Seharusnya, mudah menemukan tempat persembunyian di tempat
seberantakan ini apalagi dengan semua tabung berisi bagian-bagian tubuh
manusia. Ya, kini ia yakin bahwa sesuatu dalam tabung itu adalah manusia. Kian
membuatnya bergidik namun tak mampu menggerakkan seujung pun jarinya. Haruskah
ia berpura-pura menjadi salah-satu mayat yang diawetkan itu? Tidak! Waktunya
terlalu mepet.
'Ayolah, cari tempat yang tidak
mungkin terlihat. Manfaatkan penerangan remang-remang ruangan ini.'
Semakin gelisah, ia terus
mengedarkan pandangan. Sedangkan sang sosok, berada beberapa meter darinya.
Dalam hitungan detik, jika ia tidak juga berpindah tempat, dapat dipastikan
sosok berpakaian putih tertutup itu akan menemukannya. Dan tidak menutup
kemungkinan, ia akan bergabung dengan mayat-mayat dalam tabung. Atau bisa jadi,
tubuhnya malah akan terpisah-pisah.
Terlambat, sang sosok sudah berada
tepat beberapa langkah darinya. Jika ia hitung, mungkin sekitar lima langkah
lagi. Perlahan, semakin mendekat. Kian mendekat. Jeane menutup mata
rapat-rapat. Merapatkan tubuhnya semakin dalam. Seolah dengan melakukan hal itu
ia bisa bersatu dengan sang meja. Namun, sosok itu berhenti.
'Apa yang sedang ia lakukan?'
meskipun Jeane sangat penasaran, ia tidak berani mengintip dari balik meja
persembunyian. Salah-salah, sang sosok malah melihatnya. Ia tidak bisa
mengambil resiko itu seberapa pun rasa penasaran menggerogoti.
Jeane berusaha menajamkan
pendengaran ketika terdengar suara getaran handphone milik sang sosok. Tak lama
terdengar suara. Tidak perlu ia menajamkan pendengarannya, berbarengan dengan
terdengarnya suara sosok itu, jantung yang semula berdetak sangat cepat seakan
terhenti, hampir saja ia melontarkan kekagetannya. Sungguh, ia...sangat
mengenali suaranya. Suara yang sangat tidak asing. Suara yang hampir setiap
hari ia dengar. Bagaimana mungkin ia tidak tahu? Seketika, ketakutan yang
menyelimuti seluruh inci tubuhnya tergantikan oleh rasa sakit tak terkira.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa orang itu melakukan hal sekeji ini? Ketika sosok
itu kembali berbicara, air mata jatuh dari kelopak mata Jeane. Semakin lama
sang sosok bersuara, semakin banyak pula kesakitan yang tertancap dalam pada
tubuh Jeane. Perlahan, ia beranjak dari tempatnya dan melihat sosok itu.
Sang sosok tengah membelakanginya,
mendengarkan perkataan seseorang dalam handphone yang diselipkan di antara bahu
dan telinga. Kedua tangan sosok itu dipenuhi dengan cairan kental merah. Sebuah
plastik besar entah berisi apa tergelatak di atas meja tak jauh dari sang
sosok.
Jeane hampir tercekat mengenali
postur tubuh itu. Bahkan meski hanya bagian belakang, bahkan meskipun seluruh
tubuhnya tertutup. Sedetik lalu, ia sangat berharap bahwa suara itu hanya
sekedar mirip. Namun kini, harapannya sepenuhnya sirna. Ia yakin. Benar-benar
yakin.
"Bagaimana bisa?" Suara
lirih penuh getaran terlontar dari mulut Jeane. Isak tangisnya terdengar begitu
memilukan. Seketika, tubuh sosok itu seakan membeku. Handphone yang semula
berada di antara telinga dan bahunya terjatuh begitu saja dengan suara berdebum
yang keras.***
"Itu kau bukan? Aku tahu itu
memang kau?" Suara tegang nan dingin itu bagaikan sebuah vonis mematikan
baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari seperti ini akan terjadi. Ketika
sang gadis pujaan mendapati semua pekerjaannya, bagaimana ia harus bereaksi
atau menjelaskan, tak bisa sama sekali ia pikirkan.
"Jangan berbalik! Aku tidak
mau melihatmu seperti ini. Kubilang jangan berbalik! Jangan perlihatkan wajahmu
padaku!" Teriak gadis itu terdengar frustrasi. Ia mengabaikan perintah
dari suara tertekan itu. Tetap berbalik pada sang gadis dan menatapnya. Jeane
menutup telinga dengan kedua tangan dan memejamkan mata. Teriakan itu semakin
menjadi-jadi. Tak terkendali.
Seperti inilah. Harusnya dulu ia
memaksakan diri untuk membayangkan kejadian seperti ini terjadi. Meskipun
menyakitkan, setidaknya ia bisa memikirkan apa yang perlu ia perbuat. Reaksi
dari sang pujaan hati harusnya mampu ia bayangkan. Saat teriakan itu semakin
melemah, ia mendekat. Telah mengetahui sang gadis akan kehilangan kesadaran.
Karena sebelum tubuh mungil itu menyentuh lantai, ia telah mendekapnya. Sepenuh
hati.
Sorot mata itu menatap Remie dengan
penuh kekosongan. Tanpa mengucapkan apa-apa, tanpa melontarkan sepatah pun
pertanyaan. Dan Remie, membalasnya dengan tatapan tak kalah kosong. Enggan
mengatakan apa pun yang akan dianggap sebuah alasan. Memang, ia memiliki
alasan. Alasan jelas yang mungkin saja tak bisa dimengerti sang pujaan hati.
Biarkan sang gadis memberi penghukuman. Sekalipun gadis itu akan meninggalkannya,
sedikit pun Remie tidak menyesal.
Memang harus ada harga dari hasil
perbuatan yang telah ia lakukan. Selama ini Remie bahkan bertanya-tanya kenapa sesuatu yang buruk
tak pernah menimpanya ketika ia melakukan tindakan yang tak masuk akal. Bahkan
sesungguhnya, Remie menanti-nanti balasan setimpal yang harusnya telah Tuhan
berikan. Remie sangat tahu Tuhan tengah murka padanya. Terlepas dari segala
perbuatan baik yang pernah Remie lakukan, tindakannya sudah melewati batas. Tak
ter maafkan.
Setidaknya, ia menganggap Tuhan
sangat tidak adil. Di atas segala kebaikan-Nya, Kenapa Tuhan harus memutuskan
suatu kenyataan yang tak bisa ia terima? Dalam hidupnya yang mengerikan,
setelah ia diterangi cahaya menyilaukan yang seakan menyelamatkan Remie, kenapa
Tuhan harus merenggut kembali sang cahaya dengan tiba-tiba? Remie bisa menerima
kehidupan menyedihkan yang selalu ia lewati. Seharusnya, ia mendapatkan balasan
dari itu semua bukan? Harusnya, kehadiran sang cahaya hidupnya tetap menjadi
hadiah bukannya fatamorgana yang dengan seketika lenyap.
Remie bertemu dengan sosok gadis
itu ketika ia berada dalam masa-masa putus asa. Kegagalan demi kegagalan yang
terus menimpanya hampir-hampir tak bisa ia tanggung. Jika saja ia tak bertemu
sesosok mungil berhati malaikat itu, tak ada alasan bagi Remie untuk bertahan
hidup. Dan akhirnya, ia kembali ke jalannya. Menjadi seorang dokter yang
merupakan cita-cita dimasa kecil Remie. Berkat sang gadis, untuk sang gadis, ia
kembali meneruskan masa magang. Dan setiap hari bertemu dengan gadis itu.
Menatapnya, berbincang dengannya, memulai awal baru.
Remie tahu, hidup sang gadis selalu
berada dalam bayang-bayang kematian. Meskipun begitu, entah itu Remie atau
bahkan Jeane, selalu berdoa. Berdoa pada Sang Maha Penguasa bahwa Jeane, sang gadis
mungil berhati malaikat, akan hidup dengan sangat lama. Dan Remie selalu
mengusahakannya dengan begitu keras. Namun dengan kejamnya, Tuhan malah
menempatkan sang gadis dalam kondisi yang benar-benar memprihatinkan. Bagaimana
bisa, gadis itu memiliki jantung yang sangat lemah. Di sepanjang hidupnya harus
selalu berjumpa dengan alat-alat yang tertancap dalam tubuhnya. Hanya untuk
hidup.
Hidup yang bagi sebagian orang sangat mudah,
nyatanya terlalu sulit bagi sosok Jeane. Dan Remie sama sekali tidak bisa
menerima, ketika dokter seniornya berkata bahwa hidup Jeane tidak bisa lama.
Hanya akan bertahan dalam beberapa bulan lagi. Detik itu juga, Remie memutuskan
untuk menghianati Tuhan. Mengambil keputusan yang sudah lama ia pelajari. Tak
peduli bahkan meskipun Tuhan akan melaknatnya.
‘Seberapa besar cintamu padaku
hingga kau harus melakukan hal itu?’
Tatapan yang ia lontarkan di rumah
sakit yang selalu menjadi tepat tinggalnya tepat sedetik setelah sadar,
adalah kali terakhir ia berjumpa dengan sang lelaki. Jeane tidak tahu
sebelumnya. Dan bahkan, setelah ia mengetahui alasannya, ia sama sekali tak
bisa baik-baik saja.
‘Akhirnya aku berjumpa dengan
cahaya hidupku.
Sangat sulit menemukan jantung yang cocok untuk tubuhnya. Bahkan
hampir mustahil.
Aku bisa membuat semua jantung cocok pada
tubuhnya. Namun itu tidak bisa bertahan lama. Paling lama sekitar 8 bulan.
Metode yang kutemukan setelah 5
tahun penelitianku, tidak akan kusia-siakan. Hanya akan kugunakan sendiri.
Yang perlu kulakukan hanyalah menemukan
jantung yang masih segar. Jantung dari seseorang yang baru beberapa detik
meninggal. Mungkin paling lama 30 detik. Sulit. Namun masih bisa kuatasi.
Metodeku tidak akan ada yang tahu.
Terlalu rumit, beresiko, namun aku bisa mengatasinya karena akulah yang
menemukan metode ini. Sang jantung, harus benar-benar ku...
Transplantasi pertama sangat
berhasil. Dari seorang mahasiswi Korea yang ingin bunuh diri.
Aku membuat sebuah situs
internasional bagi orang-orang frustrasi. Yang ingin mati atau sudah lelah
hidup.
Tak ada yang salah dari
transplantasi pertama. Cahayaku masih hidup namun berada dalam masa-masa
kritis. Yang terpenting, ia hidup.
Setelah 3 bulan, terjadi
tanda-tanda ke tidak cocokkan. Harus segera kuganti.
Cahayaku kembali sadar pada Transplantasi
ke empat. Aku melihat senyum cerahnya.
Karena ia berhati malaikat, maka
biarkan aku menjadi iblisnya.
Adalah sebagian catatan yang
berhasil Jeane kumpulkan. Ia tak tahu harus berkata apa. Haruskah ia berterima
kasih? Tidak mungkin! Dan akhirnya, setelah Jeane berbaring selama hampir 2
minggu tanpa melakukan apa-apa di rungannya, ia memutuskan suatu keputusan
bulat. Ia tak sanggup lagi.
Sesosok tubuh mungil meluncur jatuh
dengan suara berdebum keras dari lantai teratas RS****. Tewas seketika dengan mengenaskan.
Tak tertolong. Tepat di hadapan seorang dokter baru yang diketahui sangat
berbakat.***
Bandung, 11 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar