By: Gerimissenja
Kau yang terus melangkah. Meninggalkanku dalam sebuah kenangan yang tak lagi terasa manis. Mengabaikan tangisan dan segala permohonan yang tertahan dibibirku. Melepaskan genggaman yang dulu kau bilang akan selalu kau genggam. Tak ada yang tersisa. Entah itu janji ataupun cinta. Hanya luka. Dan tempat kosong disisiku. Hanya ada kenangan yang telah pudar dalam memorimu.
Kau yang telah melepaskanku untuk semua ambisimu. Menepis perasaan yang dahulu kala menjatuhkanku. Meminta maaf atas janji yang tak bisa kau tepati. Tak ada yang berubah dari maafmu. Entah itu kekecewaan yang menggerogoti kebahagiaanku ataupun kesakitan yang semakin menjalari hatiku. Harusnya kau tetap menjadi orang brengsek. Dengan begitu aku bisa membencimu sebesar dan sesuka yang kubisa. Namun kau menyesalinya. Mengatakan bahwa kau bukan yang terbaik bagiku dan tak akan bisa membahagiakanmu. Memangnya siapa dirimu? Berani-beraninya berbicara soal kebahagiaanku. Kau tidak tahu apa-apa. Bahkan sampai akhirpun kau tidak mengetahuinya. Bahwa aku... sangat terluka.
Kau yang perlahan kehilangan kebahagiaan. Berjalan ditengah api yang semakin menghanguskanmu. Pada akhirnya, apa yang tersisa dari segala ambisi tidak masuk akalmu? Kau selalu bilang bahwa itu adalah mimpi. Sebuah mimpi yang menuntunmu pada kebahagiaan. Jika yang kau katakan benar, harusnya kau menunjukannya padaku. Bahwa kau bahagia dan mimpimu memang benar sebuah mimpi. Sampai akhir, dimataku tetap saja bahwa segala sesuatu yang kau anggap mimpi tidak ubahnya hanyalah sebuah ambisi menggelikan yang perlahan mengubahmu layaknya monster. Sebelum segalanya terlambat, kembalilah. Kembalilah menjadi seseorang yang kukenal dan genggam tanganku. Aku berjanji tidak akan melepaskannya.
" Apa yang membawamu ke sini?" Tanyaku sambil duduk disebelahnya.
" Kau disini?" Ucapmu tanpa menoleh kearahku. Tetap memandangi sang surya dengan sorot pekat yang semakin tak bisa kuterka. Semakin lama, tak ada yang tersisa darimu. Tak ada yang bisa kupahami lagi. Kenyataan yang sedari dulu kusadari haruslah mulai kuterima. Tak ada yang bisa kembali.
" Kau tahu aku selalu disini." Balasku sambil mengikuti arah pandangmu.
" Langit selalu membuatku tampak mengerikan." Kau berbisik sambil memejamkan matamu. Merasakan angin sore menerpa wajahmu dengan lembut. Aku hanya mengamatimu. Bagiku wajahmu selalu mengalahkan keindahan sang senja. Meski luka itu masih tertancap dalam, kau tetaplah menjadi satu-satunya orang yang kurindukan. Mengobati lukaku meskipun hanya sementara dan setelah itu malah akan semakin membuatnya tertancap dalam.
Apa lagi yang kini kau resahkan? Apa lagi yang membuat kebahagiaan semakin pudar dari wajahmu? Tak bisakah kau tertawa seperti dahulu? Dan kenyataannya, segalanya telah berubah. Itu yang selalu kau bilang. Aku tidak pernah mau tahu tentang perubahan yang kerap kali kau katakan. Tetapi, selalu saja kau mengucapkannya dengan sangat menyedihkan. Bahwa di dunia yang indah ini, sebuah cerita yang terlalu membahagiakan sering kali tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kurasa kini aku memahaminya. Kau yang memaksaku untuk merasakannya.
" Kenangan selalu membuatku tampak menyedihkan. kau ingat? Dulu kita juga sering duduk disini. Menatap ombak ditengah cahaya senja. Selalu membuat kita terpesona. Pasir yang kita duduki walaupun membuat celana kita kotor dan basah tetaplah sebuah kenangan." Ucapku dengan penuh penekanan. Mencoba mengingatkanmu akan suatu hal yang sampai saat ini kupegang erat-erat.
Kata-kataku berhasil membuatmu menoleh kearahku. Memandangku dengan tatapan kecewa dan amarah. Bukankah seharusnya aku yang melontarkan sorot mata seperti itu? Dalam keadaan seperti ini, akulah peran yang tersakiti.
" Berhentilah. Bukankah sudah beribu kali aku mengatakannya?"
" Bagaimana kabar istrimu? Apa kalian bahagia?" Dengan senyuman lebar aku mengalihkan pembicaraan. Berlaku seolah sangat antusias dengan kehidupan kalian.
" Ahh aku yakin kalian pasti sangat bahagia. Aku tak habis pikir apa yang membuatmu kesini? Di sini tak ada yang berubah, bukan? Turis yang selalu datang dan pergu, pasir yang basah terkena ombak, senja yang selalu tampak indah, angin yang..."
" Berhentilah. Kubilang berhenti!"
" Apa?!" Aku menatapmu dengan tatapan pedihku. Berusaha membuktikan bahwa aku pun tidak berubah. Masih tetap seperti dulu. Masih tetap menunggumu di tengah ombak yang selalu menemaniku.
Kau terdiam. Menatapku dengan tatapan menyedihkan. Enggan menghapus air mata yang kini terperosot jatuh dari kelopak mataku. Perlahan menggelengkan kepala lalu mengalihkan pandangan dari mataku. Selalu seperti itu. Air mata yang terjatuh karenamu ini harus selalu aku lagi yang menghapusnya.
" Kembalilah, kumohon. Kau tahu aku tidak pernah berubah. Aku..."
" Segalanya telah berubah. Entah itu pantai ini atau pun diriku. Tak ada yang seperti dulu. Tidak akan pernah ada." Katamu dingin sambil beranjak dari dudukmu. Aku memandangmu dengan tatapan terluka.
" Apakah hanya aku yang tetap bertahan? Kenapa? Harusnya kaulah yang berhenti bukannya aku. Jika itu yang membuatmu menderita harusnya kau yang berhenti!" Teriakku berusaha mengalahkan suara ombak dan jarak diantara kita yang mulai kau ciptakan. Tapi bahkan kau tidak mempedulikan isak tangis memilukanku. Tetap melangkah meninggalkan jejak yang perlahan terhapus ombak.
" Kau tidak bahagia!" Ucapanku membuat langkahmu tiba-tiba terhenti. Senyum mulai tersungging dibibirku.
" Aku benar bukan? Kau tidak bahagia.. Sama sekali tidak merasa bahagia. Apa yang harus aku lakukan untuk menyadarkanmu bahwa itu semua hanyalah sebuah ambisi tidak masuk akal." Kau berbalik kearahku dan berjalan mendekatiku.
" Apa yang harus aku lakukan agar membuatmu sadar bahwa ketidak bahagiaanku disebabkan karena mu?" Balasmu datar sambil menghentikan langkahmu. Dengan tidak percaya aku beranjak dari dudukku.
" Kau... tega-teganya berkata seperti itu. Aku yang membuatmu tidak bahagia? Atas dasar apa kau berani berkata seperti itu? Akulah satu-satunya yang kau buat menyedihkan!"
" Berhentilah mengatakan bahwa aku mengejar suatu ambisi gila. Tidak ada yang seperti itu. Satu-satunya yang membuatku tidak bahagia adalah dirimu. Kau yang tidak bisa melepaskan masa lalu. Kau yang selalu hidup dalam kenangan." Aku menatapmu dengan terkejut dan tak percaya.
" Kau pikir aku bisa merasa bahagia disaat kau masih menangisi dan mengharapkanku? saat kau masih belum melupakanku dan menghapus lukamu? meski kebahagiaan itu berada di depan mataku sendiri aku tak akan pernah bisa merasakan ketentraman."
Mendengar kata-kata yang kau lontarkan seakan membuat lidahku kelu. Tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Hanya kata menyedihkan yang kini terngiang dikepalaku.
" Ketahuilah, meskipun saat ini aku tidak menggenggam apa yang kau sebut ambisi gila hubungan kita akan tetap seperti ini. Aku akan tetap pergi tanpa menghiraukanmu. Bahkan walau akupun mencintaimu setengah mati. Tentang hubungan kita, tak ada satupun yang dapat mengubahnya."
Isak tangisku semakin pencah. Luka ini, kenapa harus semakin kau tancapkan lebih dalam?
" Mulai dari sekarang berusahalah untuk menghentikan segalanya tentang kita. Entah itu perasaanmu, lukamu, atau bahkan kenangan itu. Hiduplah seakan kau tak mengenaliku. Demi kebahagianmu. Demi hidupku. Berusahalah." Katamu lembut. Menepuk pundakku lalu kembali membelakangiku.
" Kau pergi?"
" Dan mungkin tidak akan kesini lagi." Jawabmu sangat datar. Aku berusaha menelan isak tangisku namun itu bukanlah hal yang mudah.
" Dulu... sekali saja... pernahkah kau mencintaiku?" Tanyaku masih tetap memandangi punggungnya yang mulai kembali menjauh.
" Tidak ada lagi aku yang seperti itu. Dan bahkan, ingatlah kenyataan bahwa aku lebih pantas menjadi ayahmu."
Komentar
Posting Komentar